PBB Sahkan Perjanjian Kejahatan Siber Global
Pada Kamis, 8 Agustus 2024, untuk pertama kalinya, negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencapai kesepakatan sejarah mengenai konvensi PBB tentang Penanganan Kejahatan Siber melalui sebuah konsensus. Momen ini menandai langkah penting dalam upaya global untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks di era digital, di mana kejahatan siber tidak hanya mengancam individu, tetapi juga keamanan nasional dan stabilitas ekonomi. Perjanjian ini merupakan hasil dari proses negosiasi yang berlangsung selama tiga tahun, melibatkan diplomasi intensif dan kerjasama lintas negara. Diskusi akhir yang diadakan dalam waktu kurang lebih dua pekan menghasilkan inovasi baru dalam pendekatan penanganan kejahatan siber, yang diharapkan bisa menjadi contoh bagi kerjasama internasional di bidang lainnya. Sejumlah negara berpartisipasi aktif, berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam mengatasi kejahatan siber, menciptakan sinergi yang krusial di kalangan komunitas internasional
Hasil konvensi ini akan diserahkan ke Majelis Umum PBB untuk ditindaklanjuti, dan akan mulai berlaku setelah diadopsi secara resmi oleh 40 negara anggota, yang menunjukkan komitmen global terhadap keamanan siber. Proses adopsi ini diharapkan dapat memicu respons cepat dari negara-negara lain untuk berkontribusi dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman, serta untuk menjamin perlindungan pada ranah virtual yang semakin rumit. Konvensi ini bertujuan untuk mencegah dan memerangi kejahatan siber secara efektif, dengan fokus khusus pada isu pelecehan seksual terhadap anak dan pencucian uang, dua area yang telah menarik perhatian besar dalam beberapa tahun terakhir. Dengan meningkatnya kasus pelecehan online dan skema pencucian uang yang canggih, konvensi ini diharapkan menjadi kerangka kerja yang kuat untuk penegakan hukum yang lebih baik dan perlindungan korban di seluruh dunia
Namun, perjanjian ini juga menuai kritik keras dari aktivis hak asasi manusia dan perusahaan teknologi, yang memperingatkan tentang potensi ancaman terhadap privasi dan pengawasan pemerintah yang berlebihan. Kekhawatiran ini menciptakan perdebatan sengit tentang bagaimana menyeimbangkan kebutuhan untuk keamanan dengan hak individu untuk privasi. Banyak yang takut bahwa aturan yang terlalu ketat dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan oleh otoritas, di mana perlindungan terhadap keamanan siber dapat dipakai sebagai dalih untuk memata-matai warganya sendiri. Salah satu poin penting dalam perjanjian menyatakan bahwa “sebuah negara memiliki hak untuk menyelidiki segala kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal empat tahun berdasarkan hukum nasionalnya”. Selain itu, negara tersebut juga dapat meminta bukti elektronik dan data dari penyedia layanan internet kepada otoritas negara lain, yang mengindikasikan peningkatan kolaborasi internasional dalam ketertelusuran dan penanganan kejahatan siber. Namun, pelaksanaan ketentuan ini memerlukan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa hak-hak sipil tetap terjaga, dan bahwa informasi pribadi tidak disalahgunakan dalam proses investigasi
Kritikus mengemukakan bahwa jangkauan perjanjian kejahatan siber PBB terlalu luas dan mengkhawatirkan terkait perlindungan hak asasi manusia. Mereka berpendapat bahwa kelemahan dalam pengaturan hak asasi manusia dalam perjanjian ini berpotensi memfasilitasi tindakan represif oleh pemerintah.
Peraturan yang ada dapat mengakibatkan penuntutan terhadap individu dengan berbagai tuduhan kejahatan terkait aktivitas di internet
Direktur Eksekutif Human Rights Observe (HRW), Tirana Hassan, telah menyatakan bahwa definisi yang terlalu luas ini memungkinkan pemerintah untuk mengesahkan undang-undangdomestik yang mengkriminalisasi berbagai tindakan yang dilakukan melalui teknologi informasi. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi dasar bagi penegakan hukum yang bersifat represif. Di sisi lain, beberapa negara anggota PBB juga menyampaikan keberatan terhadap berbagai aspek dalam perjanjian ini. Misalnya, Rusia mengklaim bahwa perjanjian ini terlalu menekankan pada hak asasi manusia dan berpotensi melayani kepentingan negara tertentu. Iran berusaha untuk menghapus beberapa klausul yang dianggap kontroversial, termasuk ketentuan yang menyatakan bahwa “tidak ada satu upaya dalam Konvensi ini yang boleh ditafsirkan sebagai izin untuk menekan hak asasi manusia atau kebebasan fundamental seperti kebebasan berekspresi, hati, berpendapat, beragama, atau keyakinan.
Pada kesempatan ini, Iran meminta penghapusan klausul tersebut, yang mendapat dukungan dari 23 negara anggota PBB, termasuk Rusia, India, Korea Utara, dan Libya. Namun, terdapat 102 negara yang menolak usulan ini, sementara 26 lainnya memilih untuk abstain Walaupun ada perbedaan pendapat, Iran dan negara-negara lain tetap menunjukkan dukungan terhadap penyusunan perjanjian Kejahatan Siber PBB. Perjanjian ini pertama kali dirancang pada tahun 2019 dengan tujuan untuk menciptakan kerangka hukum global yang efektif dalam mencegah dan menangani kejahatan siber Selain itu, penyusunan perjanjian ini juga menjawab tantangan dari perkembangan teknologi yang telah meningkatkan potensi ancaman siber secara signifikan. Setelah melalui proses diskusi yang panjang, perjanjian ini akhirnya disetujui dan diakui sebagai perjanjian PBB tentang kejahatan siber yang pertama, seperti yang dilaporkan dari The Cyber Express, pada Senin (12/8/2024).